Minggu, 15 Juli 2012

( RENUNGAN ) HATI YANG KOSONG

 - Materialisme yang membuat nilai-nilai, ikatan dalam keluarga dan masyarakat makin longgar dan rapuh. Jarang berkumpul bersama dalam keluarga, serta bingung mengisi waktu senggang menjadi pola kejenuhan baru orang modern. Tak habis-habisnya mereka sibuk dan kekurangan waktu. Makin terasing ditengah keramaian dan kerumunan manusia, menambah kerumitan hidup manusia. Sebuah keprihatinan sosiologis di ujung abad globalisasi.

Stuart Donnelly, remaja kaya-raya yang justru mati muda. Stuart Donnelly mendadak kaya setelah memenangkan jackpot tahun 1997, berbagi total hadiah sebesar 25 juta pound dengan 12 pemenang lainnya. Dengan kekayaannya, dia mampu membeli rumah mewah di barat daya Skotlandia, tepatnya di bungalonya di Buittle Bridge dengan harga Rp10,2 miliar.

Tapi,menjadi orang kaya justru membuat Donnelly tidak bahagia. Kata teman-temannya, ia sepertinya tidak sanggup mengatasi tekanan hidup sebagai seorang jutawan. Rupanya, kekayaan hanya mampu membeli lampu penerang rumahnya yang mewah, namun tetap tak bisa menerangkan hatinya yang paling dalam.

“Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang, diatasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An-Nur (24) : 40).

Fenomena “sakit jiwa” dalam kehidupan modern. Bentuk kekosongan spiritual insan berdasi karena tidak tepat memilih dan memutuskan tujuan hidup. Kecenderungan hidup untuk memiliki, bukan untuk menjadi bermakna dengan memberi. Kebanyakan mereka mempersepsikan, aktifitas memberi dan berkorban untuk sesama itu kehilangan, bukan mendapatkan. Sungguh, dunia tenggelam dalam kubangan lumpur materialisme.

“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun.” [QS. An-Nur (24) : 39].

Bila tujuannya bukan Allah, maka sebaliknya ia akan bertujuan kepada keduniaan beserta kesenangannya. Maka fikirannya akan berorientasi kearah keuntungan, kelompoknya, keluarganya, dan komunitasnya, serta dirinya sendiri. Semua dibangun dengan kepalsuan, maka yang ada palsu, ketika dunia meninggalkannya dirinya ditinggalkan lingkungannya. Habis manis sepah dibuang.

Kecintaan keluarga tidak dibangun dengan cinta Ilahi, yang ada hanya kekosongan. Cintanya sebatas kemampuan logika, tidak ada pengorbanan hakiki, yang ada pengorbanan didunia tetapi di sisi Allah tidak mendapat apa-apa. Mungkin ada si anak baik kepada orangtua, ketika ada biaya tinggi si anak gak mampu memberikan bantuan maksimal. Walaupun ada yang maksimal, tetapi gak jadi amal juga bila tidak Sholat, tidak bisa mengaji dan tidak bisa berdoa, ini akan menjadi azab tersendiri bagi orangtuanya yang melalaikan pendidikan agama. Si anak kelak akan terlunta2 dalam kesepian hati, karena ia tidak menemukan apa yang sebenarnya dicari didalam kehidupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar