Senin, 10 September 2012

‘Aisyah Binti Abu Bakar Radhiyallahu 'Anha



Istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:


Beliau adalah guru bagi kaum laki-laki, Ash-Shidiqah putri dari Ash-Shidiq seorang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir, Al-Qursyiyah At-Taimiyah. Beliau adalah istri dari penghulu anak-anak Adam, wanita yang paling dicintai Nabi, putri dari laki-laki yang paling dicintai[1] yang merupakan obat dari atas langit yang ketujuh.

Beliau telah membuktikan kepada dunia sejak 14 abad yang lalu bahwa merupakan perkara yang sangat mungkin apabila seorang wanita lebih pandai dari kaum laki-laki, baik dalam urusan politik atau bahkan siasat perang.

Wanita ini bukanlah merupakan alumnus dari suatu universitas, dan tidak pernah pula berguru kepada cendikiawan timur dan barat, akan tetapi beliau adalah seorang murid dan lulusan dari madrasah nubuwah, madrasah iman, dan madrasahnya para pahlawan. Semenjak masa kanak-kanak dia telah dididik oleh syaikhul muslimin dan yang paling utama diantara mereka,yakni bapaknya yang bernama Abu Bakar Ash Shiddiq. Menginjak usia remaja beliau telah dibimbing oleh Nabi umat ini yang juga gurunya, manusia yang paling mulia dan yang paling utama yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suaminya. Maka berkumpullah pada diri beliau antara ilmu, keutamaan dan bayan yang mana sejarah menjadikan beliau sebagai obat yang sangat dibutuhkan sepanjang masa. Begitulah jejak-jejak beliau dipelajari dalam kuliah adab sebagaimana pentingnya nash-nash tentang adab, dan itulah fatwa-fatwa beliau dibaca menjadi topik pembicaraan di setiap sekolah sepanjang sejarah Arab dan sejarah kaum muslimin.

Beliau dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perintah dari Allah[2] sebagai penghibur setelah wafatnya Khadijah. Rasulullah hendak menikahi Aisyah dan Saudah dalam waktu yang bersamaan namun kemudian beliau menikahi Saudah terlebih dahulu hingga setelah selang tiga tahun beliau nikahi Aisyah pada bulan Syawal setelah perang Badr, maka berpindahlah walimatul ‘ursy yang sederhana ke rumah nubuwah yang baru. Yakni berupa sebuah ruangan di antara ruangan-ruangan lain yang didirikan di sekitar masjid terbuat dari batu bata dan beratap pelepah daun kurma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan atas tidur dari kulit yang berserabut, tiada batas antara dirinya dengan tanah melainkan tikar, dan pada pintu masuk beliau tutup dengan tabir.

Di dalam rumah yang sederhana inilah Aisyah radhialahu ‘anha memulai kehidupannya sebagai seorang istri secara syah yang akan dicatat oleh sejarah. Menjadi seorang istri adalah pekerjaan utama bagi wanita, dan sesungguhnya di antara tujuan utama seorang wanita adalah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Hal itu tak dapat dielakkan sedikitpun sekalipun dia adalah seorang wanita yang memiliki harta sepenuh bumi, walaupun kehormatan dia melebihi awan, sekalipun dia telah mencapai puncak ilmu dan jabatan, maka sekali-kali tidak dapat melepaskan tanggung jawab tersebut dari lehernya, tidak akan bisa dia melepaskan tanggung jawab, dan tiada jalan bagi jiwanya untuk menyimpang darinya. Maka bagaimana mungkin akan bahagia seseorang yang menyimpang dari fitrah yang telah ditetapkan baginya?

Dalam kehidupan berumah tangga inilah Aisyah menjadi guru bagi setiap wanita di seluruh alam sepanjang sejarah. Beliau adalah sebaik-baik istri yang bergaul dengan suaminya, mendatangkan kebahagiaan di hati suaminya dan menyingkirkan apa-apa yang menyusahkannya di luar rumah berupa kesusahan hidup dan rintangan tatkala berdakwah di jalan Allah.

Beliau juga seorang istri yang paling baik jiwanya, pemurah, dan bersabar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi kefakiran dan rasa lapar hingga beberapa hari lamanya tidak terlihat asap roti ataupun masakanm. Beliau berdua hidup dengan hanya memakan kurma dan air.

Tatkala kemewahan dunia berpihak kepada kaum muslimin, pernah suatu ketika beliau diberi seratus ribu dirham sedangkan beliau dalam keadaan shaum dan beliau sedekahkan seluruhnya hingga tak ada suatu apapun dirumahnya. Salah seorang pembantunya berkata: “Jika masih ada maka belilah daging dengan satu dirham kemudian anda berbuka dengannya!” maka beliau menjawab, “Seandainya engkau berkata sejak tadi niscaya akan aku berikan.”[3]

Kefakiran tidak membuat beliau berkecil hati, dan kaya tidak membuat beliau congkak. Beliau menjaga izzah jiwanya, sehingga menjadi remehlah dunia pada pandangan matanya, beliau tidak peduli apakah dunia di hadapannya atau di belakangnya.

Beliau juga merupakan istri terbaik yang memperhatikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau pada puncak ilmu yang mana beliau menjadi guru bagi kaum laku-laki. Dan mereka menjadikan beliau sebagai rujukan dalam bidang hadits, sunnah dan fikih. Az-Zuhri berkata: “Seandainya ilmu Aisyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama.” [4]

Hisyam bin Urwah menceritakan dari ayahnya yang berkata: “Sungguh aku telah bertemu dengan Aisyah, maka aku tidak mendapatkan seorangpun yang lebih pintar darinya tentang Al Qur’an, hal-hal yang fardhu, sunnah, sya’ir, yang paling banyak meriwayatkan, sejarah Arab, ilmu nasab, ilmu ini, ilmu itu dan ilmu kesehatan (kedokteran), maka aku bertanya kepada beliau, “Wahai bibi….. kepada siapa anda belajar tentang ilmu kedokteran?” Maka beliau menjawab, “Tatkala aku sakit, maka aku perhatikan gejala-gejalanya dan aku mendengar dari orang-orang menceritakan perihal sakitnya, kemudian aku menghafalnya.”[5]

Dari Al-A’masy dari Abu Adh-Dhuha dari Masruq, kami bertanya kepada Masruq, “Apakah Aisyah ahli dalam bidang fara’idh?” Maka beliau menjawab, “Demi Allah sungguh aku melihat para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkemuka bertanya kepada beliau tentang fara’idh.” [6]

Bersamaan dengan hal itu, beliau radhiallahu’anhu adalah seorang wanita yang memiliki ghirah, bahkan beliau adalah istri Nabi yang paling tinggi ghirahnya terhadap Nabi. Hal itu adalah merupakan tabiat seorang istri. Akan tetapi ghirahnya masih pada tempat yang semestinya tidak sampai melewati batas penyimpangan yang menimbulkan kemadharatan.

Di antara kejadian yang paling penting dalam kehidupan Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu’anhu adalah peristiwa tentang fitnah yang buruk dan keji terhadap beliau yang dikenal dengan “haditsul ifki” (berita dusta)[7], padahal tuduhan tersebut sangat jauh dari beliau bahkan melebihi jauhnya antara langit dan bumi. Yakni langit yang darinya turun keputusan hukum tentang bebasnya beliau dari tuduhan keji tersebut yang mana ayat-ayat tersebut senantiasa kita baca dan bernilai ibadah dengan membacanya hingga hari kiamat. Ujian tersebut merupakan pelajaran yang berharga bagi wanita yang paling utama tersebut, dan juga berisi pengisian yang bermanfaat bagi setiap wanita.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit sepulang dari haji wada’ (haji perpisahan/terakhir), dan beliau merasakan telah usailah perjalanan beliau setelah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah, maka beliau berkata di saat istri-istri beliau mengelilingi beliau: “Di mana giliran saya untuk bermalam besok? ……dimana giliran saya besok lusa?” Seolah-olah beliau merasakan lama sekali menanti giliran Aisyah. Maka hati para ummahatul mukminin -semoga Allah meridhai- menyadari bahwa Rasulullah ingin melewati sakitnya di tempat yang paling dia sukai. Maka mereka seluruhnya berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami telah menghadiahkan giliran kami kepada Aisyah.” [8]

Sehingga berpindahlah kekasih Allah ini ke rumah istri yang dicintainya, sedangkan Aisyah senantiasa berjaga untuk merawat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sakit dengan penuh kasih sayang walaupun harus ditebus dengan jiwanya, aku tebus dirimu dengan jiwaku, bapakku dan ibuku ya Rasulullah. Tidak beberapa lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan kepala beliau berada di pangkuan Aisyah.

Ummul mukminin Aisyah menuturkan saat-saat yang mengharukan tersebut: “Telah wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahku, pada saat hari dan giliran beliau menginap di rumahku dan di atas pangkuanku. Ketika itu masuklah Abdurrahman bin Abu Bakar yang sedang membawa siwak yang masih basah, Rasulullah memandangnya seolah-olah menginginkannya, maka aku ambil siwak tersebut kemudian aku kunyah dan aku bersihkan kemudian aku hendak membersihkan gigi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau menolaknya. Kemudian beliau membersihkan giginya dengan cara yang sangat baik yang aku belum melihat sekalipun yang lebih baik dari yang beliau kerjakan saat itu. Selanjutnya beliau mengarahkan pandangannya kepadaku dan meletakkan kedua tangannya sedangkan aku turut mendo’akan beliau sebagaimana do’a Jibril untuk beliau, begitupula Nabi berdo’a dengan do’a tersebut tatkala sakit. Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berdo’a dengan do’a tersebut. Pandangan beliau kembali mengarah ke langit kemudian bersabda: “Ar-Rafiiqul A’la, segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan diriku dengan dirinya pada hari terakhir kehidupannya di dunia.”[9]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di tempat dimana beliau wafat yakni di rumah Aisyah. Kemudian sisa-sisa hidup beliau radhiallahu ’anha beliau isi dengan mengajar para laki-laki dan wanita, dan turut mengisi lembaran sejarah hingga beliau wafat yang telah dinantikannya pada malam Selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 Hijrah di saat beliau berumur 66 tahun.[10]

Sepeninggal beliau lahirlah generasi-generasi yang senantiasa meneliti celah-celah kehidupan beliau semenjak berumur enam tahun hingga beliau sukses dalam tarbiyah dan berhasil meraih teladan terbaik yang tidak pernah ada lagi di dunia ini tokoh seperti beliau sejak empat belas abad lamanya.

Foot Note:

[1] HR.al-Bukhari dan Muslim di dalam Shahihnya bahwa Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah yang paling engkau cintai ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Kemudian dia bertanya lagi, “Dari golongan laki-laki ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bapaknya ‘Aisyah.” Lihatlah dalam Shahih al-Bukhari dalam bab: Keutamaan Shahabat Nabi tentang sabda yang berbunyi, “Seandainya aku boleh mengambil kekasih…” [IV/19]. Diriwayatkan pula oleh Muslim pada Keutamaan Shahabat tentang: Keutamaan Abu Bakar, no.2384. Hadits yang kuat ini menohok hidung orang-orang Rafidhah (Syiah).

[2] HR. Bukhari dan Muslim dalam shahihnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat dirimu dalam mimpi selama tiga malam. Engkau datang bersama malaikat terbungkus dengan kain sutra. Malaikat tersebut berkata, ‘Ini adalah istrimu!’ Kemudian aku singkap kain tersebut ternyata engkau berada di dalamnya. Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya menikahimu adalah perintah dari Allah.’ Lihat al-Bukhari (VII/175] dalam Manaqibul Anshar pada bab: Pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aisyah. Juga dalam at-Tabir pada bab: Melihat Wanita Tatkala BErmimpi pada bahasan “Pakaian Sutra Tatkala Tidur.” Lihat pula dalam Shaih Muslim pada Fadha’ilush Shahabah pada bab: Keutamaan Aisyah, no.2438.

[3] Lihat al-Hakim dalam al-Mustadrak [IV/13] dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/48], Ibnu Sa’id dalam ath-Thabaqat [VIII/67]. Rijalnya tsiqah.

[4] Lihat al-Mustadrak oleh al-Hakim pada bab: Ma’rifatush Shahabah [IV/11]. Dan al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [IX/240]. Ia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabari dan rijalnya tsiqah.

[5] Lihat Hilyatul Auliya’ [II/49]. Rijalnya tsiqah.

[6] HR.ad-Darimi dalam Sunannya [II/342] dan Ibnu Sa’id dalam ath-Thabaqat [VIII/66] dan al-Hakim dalam al-Mustadrak [IV/11]

[7] Akan kami bahas tentang haditsul ifki tersebut secara rinci dalam bab khsus sebagai bantahan terhadap para orientalis.

[8] Lihat Shahih Muslim kitab Fadha’ilush Shahabah pada bab: Keutamaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, no.2443.

[9] HR.Ahmad dalam al-Musnad [VI/48], al-Hakim dalam Ma’rifatush Shahabah [IV/7]. Ia berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini dan begitu pula menurut adz-Dzahabi.”

[10] al-Istii’ab [IV/1885] dan Tarikh ath-Thabari Hawadits Sanah, 58 H.

Sumber: “Mereka Adalah Para Shahabiyat [Nisaa’ Haular Rasul], Mahmud Mahdi al Istambuli & Musthafa Abu An Nashir Asy Syalabi, Penerbit at-Tibyan, Hal.54-59.
 — 

Minggu, 09 September 2012

...Ketika Telah Tiba Saat Menikah...





Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... MENIKAH adalah keputusan yang besar dalam hidup kita. Ini adalah pilihan yang tidak main-main. Memilih seorang pasangan yang dengannya kita akan membangun sebuah keluarga, menurunkan keturunan dan hidup bersama dalam segenap suasana bukanlah persoalan yang hanya untuk satu dua tahun saja, melainkan untuk sepanjang tahun. Untuk jangka waktu yang selama-lamanya. Bahkan bukan hanya di dunia, tapi juga untuk hidup di akhirat. Demikianlah, kita perlu mempertimbangkan dengan seksama dan matang perihal ini.

Sejatinya, keputusan apapun dalam hidup kita merupakan peristiwa besar. Dari keputusan itu, kelak rangkaian peristiwa akan terus bergulir. Ada peribahasa lawas, langkah keseribu dimulai dengan langkah pertama. Kita perlu hati-hati dan cermat ketika memutuskan, apapun. Orang Cina kuno punya pepatah, rusak seinci rugi seribu batu. Maka, pengambilan keputusan merupakan pertemuan dengan sebuah revolusi.

Ketika kita benar-benar telah memilih pasangan, maka saat itu juga kita telah memutuskan untuk hidup bersama dengan seorang yang asing, meninggalkan orang tua dan keluarga kita yang selama ini telah membersamai dengan segenap kehangatannya. Pilihan untuk hidup bersama pasangan ini sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita benar-benar merasa yakin bahwa kebahagiaan bersama ibu bapak dapat juga kita raih dengan hidup bersama pasangan. Pilihan untuk hidup bersama ini sungguh-sungguh mustahil kecuali jika kita yakin bahwa pasangan akan menjadi pembela dan pelindung sebagaimana saudara laki-laki dan saudara perempuan melindungi kita. Semua ini butuh keyakinan kuat dari hati.

Karenanya, saya bisa memahami kenapa perjanjian pernikahan disebut oleh Al-Quran sebagai mitsaqan ghalizha, perjanjian yang amat kuat. Ini adalah perjanjian yang sakral. Sebuah perjanjian agung antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan saksi Allah Tuhan seru sekalian alam.

Semoga Allah tabaraka wa ta’ala senantiasa meluruskan dan menetapkan niat kita bahwa menikah merupakan bagian perjuangan untuk meniti jalan sunnah Nabi-Nya dan ibadah kepada-Nya. Tentu saja, kita ingin mengawali perjuangan ini dengan segenggam keyakinan bahwa pilihan kita untuk menikah dengan pasangan merupakan pilihan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.

Ketika seorang lelaki hendak memilih pasangannya, ada empat perkara yang dapat ia jumpai pada seorang perempuan: kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agama. Agama ini datang untuk mengajarkan bahwa kemuliaan tertinggi adalah pada agama.

Ada sebuah kabar, kebanyakan lelaki lebih suka pada perempuan dengan paras yang begitu ayu. Itu sah-sah saja. Tetapi kita mesti sadar bahwa keayuan paras saja bukanlah sebab yang kelak akan mendatangkan barakah dalam pernikahan. Demikian halnya dengan keturunan dan kekayaan. Ada yang lebih sempurna dari itu semua, yakni akhlak mulia dalam diri perempuan. Ada agama dalam hidupnya.

Dalam banyak riwayat, Nabi senantiasa meminta para sahabat untuk melihat dulu Muslimah yang hendak dipinangnya. Tujuannya, agar para sahabat itu menemukan “sesuatu” yang membuatnya tertarik dan bisa melanggengkan pernikahannya. Dalam pemahaman inilah kita perlu meletakkan keayuan paras, keturunan dan kekayaan. Sungguh, Nabi kita yang agung telah berwasiat bahwa fitnah terbesar bagi lelaki adalah kaum wanita. Semoga kita tidak jatuh pada perempuan macam begitu.

Maka, paras ayu, keningratan, dan anak orang kaya bukan menjadi sebab utama. Seandainya kita tidak menemukan akhlak mulia dalam dirinya, sebaiknya pilihan tidak dijatuhkan.

Ada kiasan menarik dari Al-Quran tentang pasangan Suami-Istri. Masing-masing merupakan pakaian bagi yang lain. Sebagaimana layaknya pakaian, ada banyak macam pakaian yang sudah genap syarat-syaratnya buat menutup aurat sesuai tuntunan agama, tetapi untuk menjatuhkan pilihan pada sebuah pakaian, kita perlu menimbang dengan rasa dan hati kita.

Sebaliknya, ada banyak juga pakaian yang menarik hati, tapi kalau dengan memakainya aurat menjadi tak tertutupi, apalah guna punya pakaian yang menarik hati.

Demikian pulalah memilih pasangan. Kalau hanya menimbang wajah yang ayu, pernikahan hanya akan menerbitkan kehinaan. Sebagaimana kecantikan yang akan cepat sirna, pernikahan yang demikian akan cepat layu. Tapi, kalau hanya memilih yang baik beragama saja, takut juga bila mata dan hati menjadi kurang terjaga. Demikianlah saya memahami anjuran Nabi untuk melihat dulu muslimah yang hendak dipinang. Bukankah sudah termaktub dalam Kitab suci, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum [30] : 21)

Kalau saya tak salah ingat, Bunda Khadijah ra juga merupakan perempuan suci yang menawan yang banyak dilirik para pembesar Quraisy. Bunda Aisyah ra merupakan gadis muda yang jelita. Bunda Zainab binti Jahsy ra juga memiliki wajah yang rupawan. Demikian juga Bunda Maria al Qibthiyah ra yang berkulit putih bersih yang kecantikannya sempat membuat Aisyah ra cemburu. Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hikmah dibalik paras wajah para Ummul Mukminin kita.

Maka, tentu saja, pakaian yang baik adalah yang memenuhi aturan agama dan sesuai dengan selera hati. Sesuai anjuran Nabi, memiliki agama yang bagus dan ada “sesuatu” yang insya Allah akan melanggengkan pernikahan. Saya rasa, pasangan yang demikian sudah cukup sempurna bagi kita. Semoga “sesuatu” itu membawa keberkahan yang berujung sampainya istri shalihah kepada kita. Kata Nabi, inilah sebaik-baik perhiasan dunia dan harta yang paling berharga.

Tatkala kita sudah yakin, semoga keyakinan yang kita genggam seturut dengan jalan Nabi dan mendapat taburan ridha Allah Yang Mahasuci.

Maka, tak ada lagi yang menghalangi kita untuk bersegera meminangnya dengan segenap puja-puji bagi Allah Yang Mahatinggi.

Pada saat kita menimbang untuk memilihnya, kita sadar ini bukanlah untuk hidup diri kita semata, melainkan juga untuk kedua ibu bapak, keluarga dan anak-anak kita kelak.

Kata Nabi, Istri shalihah adalah perhiasan paling indah. Saban hari, Istri shalihah akan menjadi puisi yang senantiasa menghiasi. Puisi itu tak terumuskan oleh bahasa dan tak terucapkan oleh kata apa saja. Yang jelas, puisi itu begitu indah. Serasa dibuai diayun-ayun. Dan bagi anak-anak kelak, Istri yang demikian akan menjadi madrasah utama bagi mereka. Kelembutannya akan menjernihkan hati anak-anak. Dan bukankah jika segumpal darah (hati) itu baik maka baiklah seluruh dirinya?

Saya sepenuhnya sadar bahwa mencari Istri yang shalihah itu seperti berburu mutiara di dasar laut. Nun di sana, di dalam cangkang itu istri shalihah senang berada dan menjaga diri. Dan untuk menemukannya, kita harus menyelam di kedalaman, tapi kita akan tahu seberharga apa dia ketika kita sudah mendapatkannya.

***
Sebuah pernikahan didahului oleh pilihan bebas yang penuh kesadaran dan tanggung jawab. Masa awal-awal pernikahan merupakan masa dimulainya perjuangan untuk memupuk rasa simpati dan menyuburkannya menjadi cinta.

Al-Quran menyebut cinta antara Suami-Istri dengan kata afdha. Maknanya, seperti keterbukaan angkasa raya. Dalam cinta yang demikian, tak ada lagi sikap yang penuh pura-pura. Suatu kali, mungkin kita akan mendatangi istri dengan setumpuk masalah dan kita tak sedikitpun ragu untuk mengeluhkan beban dan bahkan mungkin menangis di pangkuannya. Meski, ketika kita di luar rumah, kita tetap tegar dengan air muka yang selalu ceria. Suatu ketika, Nabi agung Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Bunda Khadijah radhiallahu ‘anha dalam keadaan gelisah dan ragu seusai mendapat wahyu pertama. Dengan kelembutannya, Bunda Khadijah ra menenangkan dan menguatkan hati Nabi.

Saya tercengang dengan kalimat Umar ibn Khattab ra. Katanya, seorang laki-laki akan menjadi anak-anak ketika ia hanya berdua bersama Istrinya.

Sebaliknya, Nabi juga memiliki sikap yang sangat hangat kepada setiap Istrinya. Saat itu Nabi bersama beberapa sahabat. Seorang utusan datang membawa nampan makanan. Ketika mengetahui nampan itu berasal dari Ummu Salamah ra, Aisyah ra langsung menampakkan kecemburuannya yang luar biasa. Nampan itu ia lempar sehingga pecah. Nabi tersenyum dan beliau hanya bilang sekedarnya saja pada para sahabatnya, “Ibu kalian sedang cemburu”. Ada teladan luar biasa dalam setiap jengkal hidup Nabi.

Suatu ketika, ada sahabat yang mengadu pada Umar ra perihal Istrinya yang marah-marah kepadanya. Sahabat itu mendapatkan jawaban Umar ra yang tak disangka. “Istriku juga marah kepadaku, tapi aku diam saja. Ia yang mengurus rumahku, mencuci pakaianku, memasak makanan untukku dan merawat anak-anakku. Ia berhak untuk marah kepadaku kalau aku juga tak menurut kepadanya.” Ada teladan yang tak biasa dalam setiap jengkal hidup para sahabat.

Setiap pasangan tentu selalu mendambakan lahirnya cinta sejati. Demikian juga kita, saya yakin pasti juga merindukannya. Bagi saya, teladan cinta sejati adalah cinta yang dimiliki dan disuguhkan oleh Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam pada Bunda Khadijah radhiallahu ‘anha. Bukan putri Cinderella dan pangerannya. Bukan pula Romeo dan Juliet. Atau kisah-kisah asmara dalam buku dan sandiwara-sandiwara picisan.

Tentu saja, cinta pasangan Nabi dan Ibu kaum mukminin itu terlalu sempurna buat kita. Barangkali jaraknya sejauh bumi dan langit. Tapi, setidaknya kita punya cermin utama bagaimana kelak kita harus mengambil sikap, melahirkan cinta itu dan kemudian merawatnya dengan hangat. Jika Allah menghendaki Nabi sebagai uswah hasanah manusia, maka teladan itu pasti bisa diraih. Sesulit dan sesusah apapun pasti bisa digapai. Dari sini perjuangan untuk melanggengkan pernikahan dimulai. Dari sini perjuangan untuk tetap setia pada mitsaqan ghalizha menjadi nyata. Dari sini, semoga doa Nabi untuk mempelai bisa terwujud, ada ketenangan, cinta kasih dan rahmah. Ada sakinah, ada mawaddah, dan ada rahmah.

Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, memantaskan kita untuk dikejutkan dengan hadiah dari langit, pasangan yang shalih dan shalihah. Aamiin.

Wallahu’alam bishshawab, ..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...

Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

~ o ~

Salam santun dan keep istiqomah ...

--- Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini ... Itu hanyalah dari kami ... dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan ... ----

Semoga bermanfaat dan Penuh Kebarokahan dari Allah ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....

#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
------------------------------------------------
.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....

Rabu, 05 September 2012

WANITA AHLI SURGA CIRINYA

Artikel Islami
02 Januari 2007 - 00:31
WANITA AHLI SURGA CIRINYA       
 
Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya Ahad,
Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?" (QS. Muhammad : 15)

"Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan." (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur'an yang mulia, diantaranya :

"Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik." (QS. Al Waqiah : 22-23)

"Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin." (QS. Ar Rahman : 56)

"Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan." (QS. Ar Rahman : 58)

"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya." (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

" ... seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya." (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : "Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan." Dan mereka juga mendendangkan : "Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi." (Shahih Al Jami' nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur'an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma'ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu' Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

" ... dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar." (QS. An Nisa' : 13).

Wallahu A'lam Bis Shawab.
--------
Nama Pengirim: Abdul Haq abu muhammad
Email: info_ibnu@yahoo.co.id


sumber:http://www.dudung.net/artikel-islami/wanita-ahli-surga-cirinya.html

Bila Cinta Tak Berbalas

Artikel Islami
09 April 2005 - 12:38
Bila Cinta Tak Berbalas       
Oleh: Iwan Yanuar
 
“Maaf Akhi, bukannya saya tidak menghormati permintaan akhi. Tapi rasanya kita cukup menjalin ukhuwah saja dalam perjuangan. Saya doakan semoga akhi menemukan pasangan lain yang lebih baik dari saya.”
Amboi, bagaimana rasanya bila kalimat di atas dialami oleh para ikhwan? Bisa saja langit terasa runtuh, hati berkeping-keping. Sang pujaan hati yang kita harapkan menjadi teman setia dalam mengarungi perjalanan hidup menampik khitbah kita. Segala asa yang pernah coba ditambatkan akhirnya karam. Cinta suci sang ikhwan bertepuk sebelah tangan.
Ya drama kehidupan menuju meghligai pelaminan memang beragam. Ada yang menjalaninya dengan smooth, amat mulus, tapi ada yang berliku penuh onak duri, bahkan ada yang pupus ditengah perjalanan karena cintanya tak bertaut dalam maghligai pernikahan.
Ini bukan saja dialami oleh para ikhwan, kaum akhwat pun bias mengalaminya. Bedanya, para ikhwan mengalami secara langsung karena posisi mereka sebagai subyek/pelaku aktif dalam proses melamar. Sehingga getirnya kegagalan cinta –seandainya memang terasa getir- langsung terasa. Sedangkan kaum akhwat perasaanya lebih aman tersembunyi karena mereka umumnya berposisi pasif, menunggu pinangan. Tapi manakala sang ikhwan yang didamba memilih berlabuh dihati yang lain kekecewaan juga merebak dihati mereka.
Mengambil sikap
Ikhwan dan akhwat rahimakumullah, siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa' (naluri mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia. Dengannya, manusia adalah manusia bukan onggokan daging dan tulang belulang. Ia juga bukan robot yang bergerak tanpa perasaan, tapi manusia memiliki aneka emosi jiwa. Ia bisa bergembira tapi juga bisa kecewa.
Emosi negatif, seperti perasaan kecewa akibat tertolak, bukannya tanpa hikmah. Kesedihan akan memperhalus perasaan manusia, bahkan akan meningkatkan kepekaannya pada sesama. Bila dikelola dengan baik maka akan semakin matanglah emosi yang terbentuk. Tidak meledak-ledak lalu lenyap seketika. Ia akan siap untuk kesempatan berikutnya; kecewa ataupun bergembira. Jadi mengapa tidak bersyukur manakala kita ternyata bisa kecewa? Karena berarti kita adalah mansia seutuhnya.
Kegagalan meraih cinta juga bukan pertanda bencana. Tapi akan memberikan pelajaran beharga pada manusia. Seorang filsuf bernama John Charles Salak mengatakan : Orang-orang yang gagal dibagi menjadi dua; yaitu mereka yang berfikir gagal padahal tidak pernah melakukannya, dan mereka yang melakukan kegagalan dan tak penah memikirkannya.
Karenanya kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru awal dari segala-galanya. Meski terdengar klise tapi ada benarnya; ambillah pelajaran dari sebuah kegagalan lalu buatlah perbaikan diri. Tentu saja itu dengan tetap mengimani qadla Allah SWT.
Agar kegagalan mengkhitbah tidak menjadi petaka, maka ikhwan dan akhwat, persiapkanlah diri sebaik-baiknya, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
Percayai qadla
Manusia tidak suka dengan penolakan. Ia ingin semua keinginannya selalu terpenuhi. Padahal ditolak adalah salah satu bagian dari kehidupan kita. Kata seorang kawan, hidup itu adakaanya tidak bisa memilih. Perkataan itu benar adanya, cobalah kita renungkan, kita lahir kedunia ini tanpa ada pilihan; terlahir sebagai seorang pria atau wanita, berkulit coklat atau putih, berbeda suku bangsa, dsb. Demikian pula rezeki dan jodoh adalah hal yang berada di luar pilihan kita. Man propose, god dispose. Kita hanya bisa menduga dan berikhtiar, tapi Allah jua yang menentukan.
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari kemudian menjadi ‘alaqah kemudian menjadi janin, lalu Allah mengutus malaikat dan diperintahkannya dengan empat kata dan dikatakan padanya: ‘tulislah amalnya, rizkinya dan ajalnya.” (HR.Bukhari)
Maka kokohkanlah keimanan saat momen itu terjadi pada kita. Yakinilah skenario Allah tengah berlangsung, dan jadilah penyimak yang baik dengan penuh sangka yang baik padaNya. Tanamkan dalam diri kita ‘Allah Mahatahu yang terbaik bagi hamba-hambaNya'.
Jangan biarkan kekecewaan menggerogoti keimanan kita kepadaNya. Apalagi dengan terus menanamkan prasangka buruk padaNya. Segerahlah sadar bahwa ini adalah ujian dari Allah . akankah kita menerima qadla-Nya atau merutuknya?
Dengan demikian, fragmen yang pahit dalam kehidupan InsyaAllah akan memperkuat keyakinan kita bahwa Allah sayang pada kita. Demikian sayangnya, sampai-sampai Allah tidak rela menjodohkan kita dengan si fulan yang kita sangka sebagai pelabuhan cinta kita.
Bersiap untuk cinta dan bahagia
“Seandainya ukhti menjadi istri saya, saya berjanji akan membahagiakan ukhti,” demikian ungkapan keinginan para ikhwan terhadap akhwat yang akan mereka lamar. Puluhan, mungkin ratusan angan-angan kita siapkan seandainya si dia menerima pinangan cinta kita. Kita begitu siap untuk berbahagia dan membahagiakan orang lain. Sama seperti banyak orang yang ingin menjadi kaya, tenar dan dipuja banyak orang.
Sayang, banyak diantara kita yang belum siap untuk merasa kecewa. Dan ketika impian itu berakhir kita seperti terhempas. Tidak percaya bahwa itu bisa terjadi, ada akhwat yang ‘berani' menolak pinangan kita. Bila kurang waras, mungkin akan keluar ucapan, “berani-beraninya...” atau “apa yang kurang dari saya.....”
Akhi dan ukhti, jangan biarkan angan-angan membuai kita dan membuat diri menjadi tulul amal,panjang angan-angan. Sadarilah semakin tinggi angan membuai kita, semakin sakit manakala tak tergapai dan terjatuh. Ambillah sikap simbang setiap saat; bersiap diri menjadi senang sekaligus kecewa. Sikap itu akan menjadi bufferl penyangga mental kita, apapun yang terjadi kelak.
Manakala kenyataan pahit yang ada di depan mata, sang akhwat menolak khitbah kita atau sang ikhwan memilih ‘bunga' yang lain, hati ini tidak akan tercabik. Yang akan datang adalah keikhlasan dan sikap lapang dada. Demikian pula saat ia menjatuhkan pilihannya pada kita, hati ini akan bersyukur padaNya karena doa terkabul, keinginan menjadi kenyataan.
” Menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya urusannya seluruhnya baik dan tidaklah hal itu dimiliki oleh seseorang kecuali bagi seorang mukmin. Jika mendapat nikmat ia bersyukur maka hal itu baik baginya, dan jika menderita kesusahan ia bersabar maka hal itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)
Bukan Aib
Ditolak? Emang enak! Wah, mungkin demikian pikiran sebagian ikhwan. Malu, kesal dan kecewa menjadi satu. Tapi itulah bentuk ‘perjuangan' menuju pernikahan. Kita tidak akan pernah tahu apakah sang pujaan menerima atau menolak kita, kecuali setelah mengajukan pinangan padanya. Manakala ditolak tidak usah malu, bukan cuma kita yang pernah ditolak, banyak ikhwan yang ‘senasib' dan ‘sependeritaan'.
Saatnya berjiwa besar ketika ditolak. Tidak perlu merasa terhina. Demikian pula saat banyak orang tahu hal itu. Bukankah apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang benar? Mengapa mesti malu.
‘Kita mungkin takkan Bahagia'
Marah-marah karena lamaran tertolak? Mendoakan keburukan pada ikhwan yang tidak mencintai kita? Itu bukan sikap seorang muslim/muslimah yang baik. Tidak ada yang bisa melarang seseorang untuk jatuh cinta maupun menolak cinta. Sebagaimana kita punya hak untuk mencintai dan melamar orang, maka ada pula hak yang diberikan agama pada orang lain untuk menolak pinangan kita. Bahkan dalam kehidupan rumah tangga pun seorang suami dan istri diberikan hak oleh Allah SWT. Untuk membatalkan sebuah ikatan pernikahan.
Mengapa ada hak penolakan cinta yang diberikan Allah pada kita? Bahkan dalam pernikahan ada pintu keluar ‘perceraian'? jawabannya adalah sangat mungkin manusia yang jatuh cinta atau setelah membangun rumah tangga, ternyata tak kunjung memperoleh kebahagiaan ( al hanaah ) dari pasangannya, maka tiada guna mempertahankan sebuah bahtera rumah tangga bila kebahagiaan dan ketentraman tak dapat diraih. Wallahu'alam bi ash shawab
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” ( Al-Baqarah[2]:229 )
Berpikir positiflah manakala cinta tak berbalas. Belum tentu kita memperoleh kebahagiaan bila hidup bersamanya. Apa yang kita pandang baik secara kasat mata, belum tentu berbuah kebaikan di kemudian hari.
Adakalanya keinginan untuk hidup bersama orang yang kita idamkan begitu menggoda. Tapi bila ternyata cinta kita bertepuk sebelah tangan, untuk apa semua kita pikirkan lagi? Allah Maha Pangatur, ia pasti akan mempertemukan kita dengan orang yang memberikan kebahagiaan seperti yang kita angankan. Bahkan mungkin lebih dari yang kita harapkan.
Be positive thinking, suatu hari kelak ketika antum telah menikah dengan orang lain –bukan dengan si dia yang antum idamkan- niscaya antum takjub dengan kebahagiaan yang antum rasakan. Percayalah banyak orang yang telah merasakan hal demikian.
‘Saya tak mungkin berbahagia tanpanya'
ini adalah perangkap, ia akan memenjarakan kita terus menerus dalam kekecewaan. Perasaan ini juga menghambat kita untuk mendapatkan kesempatan berbahagia dengan orang lain. Mereka yang terus menerus mengingat orang yang pernah menolaknya, dan masih terbius dengan angan-angannya sebenarnya tengah menyiksa perasaan mereka sendiri dan menutup peluang untuk bahagia.
Mari berpikir jernih, untuk apa memikirkan orang lain yang sudah menjalani kehidupannya sendiri? Jangan biarkan orang lain membatalkan kebahagiaan kita. Diri kitalah yang bisa menciptakannya sendiri. Untuk itu tanamkan optimisme dan keyakinan terhadap qadla Allah SWT. Insya Allah, akan ada orang yang membahagiakan kita kelak.
Cinta membutuhkan waktu
“maukah ukhti menjadi istri saya? Saya tunggu jawaban ukhti dalam waktu 1 X 24 jam!” Masya Allah, cinta bukanlah martabak telor yang bisa di tunggu waktu matangnya. Ia berproses, apalagi berbicara rumah tangga, pastinya banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan. Ada unsur keluarga yang harus berperan. Selain juga ada pilihan-pilihan yang mungkin bisa diambil.
Jadi harap dipahami bila kesempatan datangnya cinta itu menunggu waktu. Seorang akhwat yang akan dilamar –contoh extrim pada kasus diatas- bisa jadi tidak serta merta menjawab. Biarkanlah ia berpikir dengan jernih sampai akhirnya ia melahirkan keputusan. Jadi cara berpikir seperti di atas sebenarnya lebih cocok dimiliki anggota tim SWAT ketimbang orang yang berkhitbah
Ideal bagus, Tapi realistik adalah sempurna
“Suami yang saya dambakan adalah yang bertanggungjawab pada keluarga, giat berdakwah dan rajin beribadah, cerdas serta pengertian, penyayang, humoris, mapan dan juga tampan.” Itu mungkin suami dambaan Anda duhai Ukhti . tapi jangan marah bila saya katakan bahwa seandainya kriteria itu adalah harga mati yang tak tertawar, maka yang ukhti butuhkan bukanlah seorang ikhwan melainkan kitab-kitab pembinaan. Kenyataannya tidak ada satupun lelaki didunia ini yang bisa memenuhi semua keinginan kita. Ada yang mapan tapi kurang rupawan, ada yang rajin beribadah tapi kurang mapan, ada yang giat dakwah dakwah tapi selalu merasa benar sendiri, dsb.
Ini bukan berarti kita tidak boleh memiliki kriteria bagi calon suami/istri kita, lantas membuat kita mengubah prinsip menjadi ‘yang penting akhwat” atau “yang penting ikhwan”. Tapi realistislah, setiap menusia punya kekurangan – sekaligus kelebihan. Mereka yang menikah adalah orang-orang yang berani menerima kekurangan pasangannya, bukan orang-orang yang sempurna. Tapi berpikir realistis terhadap orang yang akan melamar kita, atau yang akan kita lamar, adalah kesempurnaan
Maka doa kita kepada Allah bukanlah,”berikanlah padaku pasangan yang sempurna” tetapi “ya Allah, karuniakanlah padaku pasangan yang baik bagi agamaku dan duniaku.”
Kekuatan Ruhiyah
Percaya diri itu harus, tapi overselfconfidence adalah kesalahan. Jangan terlalu percaya diri akhi bahwa lamaran antum diterima. Jangan juga terlalu yakin ukhti, bahwa sang pujaan akan datang ke rumah anti. Perjodohan adalah perkara gaib. Tanpa ada seorang pun yang tahu kapan dan dengan siapa kita akan berjodoh. Cinta dan berjodohan tidak mengenal status dan identifikasi fisik. Bukan karena ukhti cantik maka para ikhwan menyukai ukhti. Juga bukan karena akhi seorang hamalatud da'wah lalu setiap akhwat mendambakannya.
Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan orang lain menurut persepsi kita. Bukankah sering kita melihat seseorang yang menurut kita “luar biasa” berjodoh dengan yang ‘biasa-biasa'. Seperti seringnya kita melihat pasangan yang ganteng dan cantik, populer tapi kemudian berpisah. Inilah rahasia cinta dan perjodohan, tidak bisa terukur dengan ukuran-ukuran manusia
Maka landasilah rasa percaya diri kita dengan sikap tawakal kepada Allah. Kita berserah diri kepadaNya akan keputusan yang ia berikan. Jauhilah sikap takkabur dan sombong. Karena itu semua hanya akan membuat diri kita rendah dihadapan Allah dan orang lain. Intinya saya bermaksud mengatakan ‘jangan ke-ge-er-an' dengan segala title dan atribut yang melekat pada diri kita.
Beri cinta kesempata (lagi)
“..........dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” ( QS. Yusuf[12]:87 )
bersedih hati karena gagal bersanding dengan dambaan hati wajar adanya. Tapi bukan alasan untuk menyurutkan langkah berumah tangga. Dunia ini luas, demikian pula dengan orang-orang yang mencintai kita. Kegagalan cinta bukan berarti kita tidak berhak bahagia atau tidak bisa meraih kebahagiaan. Bila hari ini Allah belum mempertemukan kita dengan orang yang kita cintai, insyaAllah ia akan datang esok atau lusa, atau kapanpun ia menghendaki, itu adalah bagian dari kekuasaanNya
cinta juga berproses. Ia membutuhkan waktu. Ia bisa datang dengan cepat tak terduga atau mungkin tidak seperti yang kita harapkan. Ada orang yang dengan cepat berumah tangga, tapi ada pula yang merasakan segalanya berjalan lambat, namun tidak pernah ada kata terlambat untuk merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Beri kesempatan diri kita untuk kembali merasakan kehangatan cinta. ‘ love is knocking outside the door.' Kata musisi Tesla dalam senandung love will find a way. Tidak pernah ada kata menyerah untuk meraih kebahagiaan dalam naungan ridhoNya. Yang pokok, ikhwan atau akhwat yang kelak akan menjadi pasangan kita adalah mereka yang dirihoi agamanya.
“jika melamar kepada kalian seseorang yang kalian ridho agamanya dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, bila kalian tidak melakukannya maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang nyata” (HR. Turmudzi)
“ Wanita dinikahi karena satu dari tiga hal; dinikahi karena hartanya, dinikahi karena kecantikannya, dinikahi karena agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama dan akhlak (mulia) niscaya selamat dirimu.” (HR.Ahmad)

Tafsir Surat al-Baqarah: 285-286 (Dua Ayat Terakhir)


Tafsir Surat al-Baqarah: 285-286 (Dua Ayat Terakhir)
Kamis, 14 Oktober 04
Allah Ta’ala berfirman,
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ {285} لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَآ أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ{286}
ARTINYA

“Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan),’Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,’ dan mereka mengatakan,’Kami dengar dan kami ta'at.’ (Mereka berdoa),’Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali, [285]’ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):"Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.[286]”

Keutamaan Ke-dua Ayat Ini

Mengenai keutamaannya, terdapat hadits yang diriwayatkan Ibn Mas’ûd RA., yang berkata, “Rasulullah SAW, bersabda, ‘Barangsiapa yang membaca dua ayat di akhir surat al-Baqarah pada sutu malam, maka ia (dua ayat itu) telah mencukupinya.”(HR.al-Bukhary)

Maknanya, mencukupinya dari semua kejahatan (alias terhindar darinya). Hal ini karena makna-makna agung yang dikandung oleh kedua ayat tersebut. Menurut pendapat lain, “Dua ayat itu cukup baginya sebagai pengganti shalat malam waktu itu.”

Dalam hadits yang lainnya, yang diriwayatkan Imam Muslim, di antara isinya, “Rasulullah SAW., dikaruniai tiga hal; diberi shalat lima waktu, diberi ujung (akhir) surat al-Baqarah…”

Hadits-hadits mengenai keutamaan kedua ayat tersebut banyak sekali, Imam Ibn Katsîr mengetengahkan sebagiannya ketika menafsirkan kedua ayat tersebut.

Sebab Turun Ayat

Imam Muslim mengeluarkan di dalam kitab Shahih-nya dan juga dikeluarkan oleh periwayat lainnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tatkala turun ayat [artinya], ‘Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”(Q.s.,al-Baqarah:284) beratlah hal itu bagi para shahabat RA. Lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW., dengan merangkak atau bergeser dengan bertumpu pada pantat (ngengsot) seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah dibebankan amalan-amalan yang mampu kami lakukan; shalat, puasa, jihad dan sedekah (zakat) dan sekarang telah diturunkan padamu ayat ini padahal kami tidak sanggup melakukannya.’

Lalu Rasulullah SAW., bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan Ahli Kitab sebelum kamu; kami dengar namun kami durhaka? Tetapi katakanlah ‘kami dengar dan patuh, Wahai Rabb, kami mohon ampunan-Mu dan kepada-Mu tempat kembali.’ Tatkala mereka mengukuhkan hal itu dan lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘Aamanar Rasuul…sampai al-Mashiir. (al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah pun menghapus (hukum)-nya dengan menurunkan firman-Nya, “Laa Yukallifullah…hingga selesai.(al-Baqarah:286)” [HR.Muslim, no.125 dan Ahmad, II/412]

Kapan Dua Ayat Ini Dibaca?

Dianjurkan membacanya ketika akan tidur sebagaimana hadits di muka yang menyebutkan keutamaannya, “Siapa yang membacanya pada satu malam, maka ia (dua ayat itu) telah mencukupinya.”

Demikian juga berdasarkan riwayat dari ‘Aly, dia berkata, “Menurutku tidak ada orang yang berakal lagi telah sampai kepadanya Islam, tidur namun tidak membaca ayat Kursi dan penghujung surat al-Baqarah; sebab ia merupakan perbendaharaan (harta terpendam) di bawah ‘arsy.” (Lihat, Tafsir Ibn Katsir, Jld.I, h.735)

Di samping itu, dianjurkan juga membacanya di rumah untuk mengusir syaithan. Hal ini berdasarkan riwayat an-Nu’man bin Basyir, dari Nabi SAW., yang bersabda,“Sesungguhnya Allah telah mencatatkan suatu catatan…[di dalamnya terdapat]…darinya Dia (Allah) menurunkan dua ayat penutup surat al-Baqarah, dan (bila) ke-duanya tidak dibaca pada satu rumah selama tiga malam, maka syaithan akan menetap di dalamnya.” (Lihat, al-Mustadrak, Jld.I, h.562)

Makna Global Ayat

Di dalam ayat-ayat yang mulia tersebut terdapat pemberitaan dari Allah mengenai Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman bahwa mereka itu telah beriman kepada semua wahyu yang diwahyukan kepada Rasul kita, Muhammad SAW. Mereka beriman kepada Allah, kitab-kitab dan Rasul-Rasul-Nya semua, tidak ada perbedaan di antara mereka, menjalankan semua perintah, mengamalkan, mendengar, patuh, meminta kepada Allah ampunan atas dosa-dosa mereka dan khusyu’ serta tunduk kepada Allah di dalam memohon pertolongannya-Nya dalam menjalankan kewajiban tersebut.

Di dalam ayat-ayat tersebut juga terdapat pemberitaan bahwa Allah tidak membebani para hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuan mereka, setiap jiwa akan mendapat pahala kebaikan yang dilakukannya dan dosa atas kejahatan yang dilakukannya, Allah Ta’ala mengampuni keterbatasan mereka dalam mengemban kewajiban-kewajiban dan hal-hal haram yang dilanggar, tidak memberikan sanksi atas kesalahan dan kelupaan mereka, Dia sangat memudahkan syari’at-Nya dan tidak membebani mereka hal-hal yang berat dan sulit sebagaimana yang dibebankan kepada orang-orang sebelum mereka serta tidak membebankan mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Dia telah mengampuni, merahmati dan menolong mereka atas orang-orang kafir. (Lihat, Tasysiir al-Kariim ar-Rahmaan, h.101)

Allah Ta’ala telah menjelaskan karunia-Nya itu dengan firman-Nya, ‘Telah Aku lakukan (Aku telah menetapkannya)’ sebagai jawaban atas setiap doa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut.

Pesan-Pesan Ayat

Di antara pesan-pesan dua ayat tersebut adalah:
1. Menyebutkan sifat agung seorang Mukmin, yaitu mendengar, ta’at (patuh) dan komitmen terhadap perintah-perintah Allah.

2. Di antara keimanan yang esensial adalah iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan Rasul-Rasul-Nya.

3. Wajib beriman kepada seluruh para Rasul dan kitab-kitab-Nya tanpa membeda-bedakan di antara mereka

4. Betapa besar rahmat Allah kepada para hamba-Nya, di mana Dia tidak membebankan mereka kecuali sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang mereka mampu lakukan dan tidak memberikan sanksi atas kelupaan, ketidaktahuan akan hukum atau kesalahan yang mereka lakukan.

5. Di dalam ayat-ayat di atas terdapat hal yang mengindikasikan adanya kemudahan dan tidak mempersulit di dalam perkara agama.

6. Allah telah mengabulkan doa para hamba-Nya dengan doa-doa tersebut (dalam ayat), oleh karena itu Dia mensyari’atkan bagi mereka membacanya di rumah dan ketika akan tidur.

Kita memohon kepada Allah melalui Asma dan Sifat-Nya serta karunia-Nya yang berupa konsistensi terhadap agama-Nya agar merealisasikan hal itu kepada kita dan segera mengabulkan janji-Nya kepada kita melalui lisan Nabi-Nya serta agar memperbaiki kondisi kaum Mukminin.

(SUMBER: Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah-Fi`ah an-Naasyi`ah-karya Dr.Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, h.41-36) 

Juraij Seorang Ahli Ibadah


Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah berbicara ketika masih bayi kecuali tiga orang, di antaranya : Isa bin Maryam dan seorang bayi yang ada pada zaman Juraij. 

Juraij adalah seorang laki-laki ahli Ibadah, dia membangun sendiri tempat ibadahnya. Ceritanya, pada suatu hari di saat ia sedang shalat ibunya memanggil, 'Wahai Juraij.' Juraij berkata, 'Ya Rabbi, apakah akan saya jawab panggilan ibuku atau aku meneruskan shalatku?' Juraij meneruskan shalatnya. Lalu ibunya pergi. 

Keesokan harinya, Ibu Juraij datang ketika ia sedang shalat lagi. Sang Ibu memanggil, 'Wahai Juraij!' Juraij mengadukan kepada Allah, 'Ya Rabbi, aku memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?' Ia meneruskan shalatnya. Lalu ibunya pergi meninggalkan Juraij. 

Pada pagi hari Ibu Juraij datang lagi, ketika itu Juraij sedang shalat. Sang Ibu memanggil, 'Wahai Juraij!' Juraij berkata, 'Ya Rabbi, aku memenuhi panggilan ibuku terlebih dahulu atau meneruskan shalatku?' Tetapi Juraij meneruskan shalatnya. 
Lalu Ibu Juraij bersumpah, 'Ya Allah, janganlah Engkau matikan dia, sehingga ia melihat pelacur!' 
Orang-orang Bani Israil menyebut-nyebut ketekunan ibadah Juraij. 

Dan tersebutlah dari mereka seorang pelacur yang sangat cantik berkata, 'Jika kalian menghendaki, aku akan memberinya fitnah.' 
Perempuan tersebut lalu mendatangi Juraij dan menggodanya. Tetapi Juraij tidak memperdulikannya. Lalu pelacur tersebut mendatangi seorang penggembala yang sedang berteduh di dekat tempat ibadah Juraij. Akhirnya ia berzina dan hamil. 

Tatkala ia melahirkan seorang bayi. Orang-orang bertanya, 'Bayi ini hasil perbuatan siapa?' Pelacur itu menjawab, 'Juraij'. Maka mereka mendatangi Juraij dan memaksanya keluar dari tempat ibadahnya. Selanjutnya mereka memukuli Juraij, mencaci maki dan merobohkan tempat ibadahnya. 
Juraij bertanya, 'Ada apa ini, mengapa kalian perlakukan aku seperti ini?.' Mereka menjawab, 'Engkau telah berzina dengan pelacur ini, sehingga ia melahirkan seorang bayi.' Ia bertanya, 'Di mana sekarang bayi itu?' Kemudian mereka datang membawa bayi tersebut. 

Juraij berkata, 'Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan shalat!' Lalu Juraij shalat. Selesai shalat Juraij menghampiri sang bayi lalu mencoleknya di perutnya seraya bertanya, 'Wahai bayi, siapakah ayahmu?' Sang bayi menjawab, 'Ayahku adalah seorang penggembala.' 

Serta merta orang-orang pun berhambur, menciumi dan meminta maaf kepada Juraij. Mereka berkata, 'Kami akan membangun kembali tempat ibadah untukmu dari emas!' Juraij menjawab, 'Jangan! Cukup dari tanah saja sebagaimana semula.' Mereka lalu membangun tempat ibadah sebagaimana yang dikehendaki Juraij. 

Ketika ibu si bayi memangku anaknya untuk disusui, tiba-tiba lewat seorang lelaki menunggang kuda yang gesit, gagah dan tampan rupa. Maka ibu itu berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah anakku seperti dia.' Tiba-tiba bayi itu melepaskan tetek ibunya dan menghadap kepada penunggang kuda tersebut seraya berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.' Lalu ia kembali lagi ke ibunya dan melanjutkan hisapan susunya." 

Abu Hurairah berkata, "Seakan-akan aku melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menirukan gerakan si bayi dan meletakkan jari telunjuknya di mulut lalu megisapnya. 

Lalu lewat serombongan orang membawa wanita hamba sahaya yang sedang dipukuli. Mereka menuduh, 'Kamu telah berzina, kamu telah mencuri!' Sementara hamba sahaya perempuan itu berkata, 'Cukuplah Allah sebagai Pelindungku!' 

Melihat kejadian ini, sang Ibu berdoa, 'Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia.' Maka bayi itu meninggalkan tetek ibunya dan melihat ke tempat wanita hamba sahaya tersebut sambil berdoa, 'Ya Allah jadikanlah aku seperti dia.' 

Dan pembicaraan itu berulang. Sang ibu berkata kepada anaknya, 'Di belakangku berlalu seorang penunggang kuda yang gagah dan tampan, lalu aku berkata, 'Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.' Lantas engkau berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.' Lalu berlalu di hadapanku, wanita hamba sahaya dan mereka memukulinya serta mengatakan bahwa ia telah berzina, ia telah mencuri! Melihat hal ini, aku berdoa, 'Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia.' Lalu engkau berkata, 'Ya Allah, jadikan aku seperti dia.' 

Maka bayi itu menerangkan kepada ibunya, 'Wahai Ibu, sesungguhnya penunggang kuda yang tampan itu adalah orang yang sangat sombong. Maka aku berdoa, 'Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia!' Sedangkan terhadap hamba sahaya wanita itu, yang orang-orang berkata, 'Kamu berzina, padahal dia tidak berzina, kamu mencuri padahal dia tidak mencuri.' Maka, aku berdoa, 'Ya Allah jadikanlah aku seperti dia'." [1] 

Pelajaran Yang Dapat Dipetik: 

1. Kewajiban birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) terutama ibu, dan bahwasanya jika ia menyumpahi anaknya maka akan dikabulkan. 

2. Allah menyelamatkan seseorang dengan ketakwaan dan keshalihannya. 

3. Jika suatu urusan nampak tumpang tindih, hendaknya memprioritaskan yang terpenting kemudian yang penting. 

4. Disunnahkan berwudhu terlebih dahulu sebelum berdoa untuk hal-hal yang genting. 

5. Wudhu sudah dikenal umat dan disyariatkan sebelum Nabi Muhammad. 

6. Penetapan karamah para wali, yang bisa diperoleh melalui ikhtiar atau usaha mereka. 

7. Bersikap lemah lembut dan sayang kepada murid ketika memberikan pendidikan kepadanya. 

8. Orang yang memiliki kepercayaan yang tinggi kepada Allah tidak mudah termakan fitnah. 

9. Boleh melakukan ibadah yang banyak/secara maksimal bagi yang mengetahui bahwa dirinya mampu. 

10. Orang yang biasa berbuat keji tidak akan memperoleh penghormatan. 

11. Orang yang secara tiba-tiba dilemparkan kepadanya suatu tuduhan hendaknya segera menghadap Allah dengan shalat. 

12. Menjelaskan keyakinan Juraij yang sangat tinggi begitu pula harapannya kepada Allah untuk memperoleh pertolongan-Nya. Sehingga ketika ia meminta anak bayi berbicara, Allah mengabulkannya. Padahal sebagaimana biasanya yang namanya bayi tentu belum bisa bicara. 

13. Sombong dan membanggakan diri adalah perbuatan tercela, demikian pula orang yang sombong dan zhalim, mereka semua dicela. 

14. Orang yang dizhalimi mempunyai kedudukan dan kelebihan di sisi Allah. Jika tidak demikian tentu tidak ada kebaikannya seorang anak yang masih menyusu ingin menjadi seorang pembantu yang rendah hati. 

15. Seseorang boleh membatalkan shalat sunnahnya manakala dipanggil orang tuanya untuk melakukan sesuatu yang syar'i. 

16. Tidak boleh cepat mempercayai suatu tuduhan tanpa bukti. 

________________________________
[1] HR. al-Bukhari, 3436; Muslim, 2550.

Sumber : Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-Kiram, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, dan edisi bahasa Indonesia "61 KISAH PENGANTAR TIDUR Diriwayatkan Secara Shahih dari Rasulullah dan Para Sahabat", pent. Pustaka Darul Haq, Jakarta.

Sabtu, 01 September 2012

Curhat ke Allah Swt. aja...

~"Mutiara Air Mata Muslimah"~

Bismillah ... Ketika kita mengeluh : “Ah mana mungkin .....”

Allah menjawab : “Jika AKU menghendaki, cukup Ku berkata “Jadi”, maka jadilah (QS. Yasin ; 82)

... Ketika kita mengeluh : “Capek banget gw....”

Allah menjawab : “...dan KAMI jadikan tidurmu untuk istirahat.” (QS.An-Naba :9)

Ketika kita mengeluh : “Berat banget yah, gak sanggup rasanya...”

Allah menjawab : “AKU tidak membebani seseorang, melainkan sesuai kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)

... Ketika kita mengeluh : “Stressss nih ... Panik ...”

Allah menjawab : “Hanya dengan mengingatKu hati akan menjadi tenang”. (QS. Ar-Ro’d :28)

Ketika kita mengeluh : “Yaaaahh ... ini mah semua bakal sia-sia ..”

Allah menjawab :”Siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarah sekalipun, niscaya ia akan melihat balasannya”. (QS. Al-Zalzalah :7)

... Ketika kita mengeluh : “Gile aje .. gw sendirian .. gak ada seorangpun yang mau bantuin ...”

Allah menjawab : “Berdoalah (mintalah) kepadaKU, niscaya Aku kabulkan untukmu”. (QS. Al-Mukmin :60)

... Ketika kita mengeluh : “ Duh .. sedih banget deh gw ...”

Allah menjawab : “La Tahzan, Innallaha Ma’ana. Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita:. (QS. At-Taubah :40)

... Ketika kita mengeluh :"duuh gw udah putus asa banget nih ..!"

Allah menjawab : “...dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. ( QS.Yusuf : 87)

... Ketika kita mengeluh : "Gw benci banget, kenapa hal ini harus terjadi dalam hidup gw.."

Allah menjawab : "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 216)

Semoga bermanfaat bagi yang membacanya .....
.... Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah semua kebaikan ....

Barakallahufikum ....

Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

~ o ~

Salam santun dan keep istiqomah ...

--- Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini ... Itu hanyalah dari kami ... dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan ... ----

Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....

#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
------------------------------------------------
.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....

Selasa, 14 Agustus 2012

shalat Istikharah


Begini, kata istikharah berasal dari bahasa Arab dengan akar kata khairan yang merujuk pada arti “kebaikan dan pilihan”. Akar kata tersebut kemudian berkembang menjadi khiyar dan ikhtiar. Baik istikharah, khiyar, dan ikhtiar sama-sama memiliki pengertian kebahasaan “memilih untuk suatu kebaikan”.

Dari definisi tersebut saja, sudah jelas jika urusan shalat Istikharah tidak melulu urusan jodoh. Memang, yang berkembang dalam masyarakat hanya urusan jodoh yang berhubungan erat dengan Istikharah.

Perhatikan keterangan berikut ini. Dari Jabir bin Abdillah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. mengajari kami tentang Istikharah dalam segala urusan, sebagaimana beliau mengajarkan Al-Quran kepada kami. Beliau bersabda, ‘Apabila kalian merasa bimbang dalam suatu urusan, maka shalatlah dua rakaat selain shalat fardhu…” (H.R. Bukhari)

Saya ulangi, mencermati hadits tersebut, tidak ada tersirat penekanan jika shalat Istikharah hanya dikhususkan untuk dimudahkan dalam memilih jodoh. Jadi, intinya dalam pilihan apa pun yang dirasa sulit menemukan jawabannya, maka dibolehkan untuk melakukan shalat Istikharah.

Pilihan yang bagaimana yang bisa diikhtiarkan jawabannya dengan shalat Istikharah? Perhatikan kembali penggalan dalam hadits tersebut Rasulullah Saw. mengajari kami tentang Istikharah dalam segala urusan. Jadi, semua urusan yang dirasa sangat memberatkan dan membingungkan, tak ada penggolongan urusan ringan atau urusan berat, pokoknya segala urusan.

Namun, walaupun begitu ada beberapa batasan yang diberikan ulama mengenai shalat Istikharah. Salah satunya Ibnu Hajar Al-Atsqalani yang menuturkan bahwa urusan yang diistikharahi adalah suatu urusan yang bersifat mubah atau di luar ketentuan yang bersifat kewajiban, sunah, atau anjuran, baik urusan yang besar maupun urusan yang kecil, misalnya kita tidak perlu melakukan Istikharah untuk menentukan akan shalat Tahajud atau tidak. Karena shalat Tahajud hukumnya sunah.

Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menyandarkan urusan dalam hidup hanya kepada Allah Swt., baik itu urusan kecil maupun urusan yang besar. Bukan berarti urusan kecil adalah masalah yang sepele. Urusan yang tampak kecil tidak selamanya berarti urusan tersebut tidak membawa dampak yang besar. Tidak jarang kita menyaksikan terjadinya peristiwa besar akibat urusan kecil yang disepelekan. 

Selain itu, shalat Istikharah tidak hanya disyariatkan ketika sedang bimbang atau ragu antara dua pilihan atau beberapa pilihan, tetapi bisa juga dilakukan saat kita memiliki tekad untuk menginginkan sesuatu.


Marilah mencari jalan dalam mengambil keputusan yang terbaik dengan jalan Istikharah. Jika di hadapan kita terdapat dua atau banyak pilihan, pilihlah melalui jalan Istikharah. Bila kita mempunyai keinginan dan harapan mengenai sesuatu, mintalah petunjuk melalui Istikharah. Hal tersebut bukan hanya sebatas yang berhubungan dengan jodoh. Perkara apa pun bisa dimintai jalan melalui shalat Istikharah. Wallaahu a’lam.

Sumber: http://www.percikaniman.org/category/tanya-jawab-islam/shalat-istikharah