Dari Sayyidina Ali RA, sesungguhnya pekerjaan yang paling sulit dilakukan ada empat: (yaitu) memberi maaf ketika marah, bersikap dermawan ketika dalam kesusahan, bersikap ksatria ketika sedang sendirian, dan berkata benar kepada orang yang ditakuti atau disayangi.
Kualitas kepribadian seorang muslim sangat ditentukan oleh sejauh mana ia konsisten berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran, bahkan ketika berada dalam situasi sulit, rumit, dan dilematis sekalipun. Tak ada alasan bagi seorang muslim untuk menghindar dari situasi itu, selagi mampu membuatnya menjadi lebih dekat kepada Allah SWT.
Setidaknya, ada empat pekerjaan yang paling sulit dilakukan, seperti dijelaskan dalam riwayat dari Sayyidina Ali RA di atas. Empat pekerjaan sulit itu, sejatinya menjadi tolak ukur kualitas keimanan seseorang. Seorang muslim yang mampu melakukannya dengan baik, sesungguhnya ia dapat dikategorikan sebagai muslim dengan tingkat keimanan sangat tinggi. Demikian sebaliknya.
Berikut ini uraiannya:
Memberi Maaf Ketika Marah
Dalam situasi normal, memberi maaf mudah dilakukan. Tapi, ketika kita sedang dipuncak amarah, alih-alih mau memberi maaf, malah bisa jadi sebaliknya melakukan balas dendam.
Setelah menumpahkan kemarahan, biasanya batin terasa terobati. Kita merasa senang, menang. Padahal, itu hanya sementara, dan perasaan yang datang kemudian justru sebaliknya. Kita selalu akan dihantui rasa bersalah, atau merasa diri kita lebih buruk dari sebelumnya. Disadari atau tidak, tindakan balas dendam, sesungguhnya bertentangan dengan hati nurani.
Bagi muslim sejati, ikhlas memberi maaf akan dilakukan dalam situasi dan kondisi apapun. Tak terkecuali ketika sedang marah. Walau bagi sebagian orang tindakan memaafkan terasa menyesakkan dada, tapi seorang muslim harus menyadari bahwa memberi maaf, apalagi dilakukan ketika sedang marah, akan mempercepat proses turunnya rahmat dan ampunan Allah yang bermuara pada ketenangan batin.
Bahkan, Allah menjanjikan hadiah khusus berupa bidadari jelita di surga bagi orang yang mau memberi maaf ketika marah. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menahan marahnya, padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, maka Allah kelak akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan segala makhluk hingga ia diberi hak memilih bidadari yang disukainya.” (HR. Tirmidzi)
Selain meraih pahala, memberi maaf dapat menjadi obat mujarab untuk mengobati penyakit psikologis. Memberi maaf bisa membebaskan diri kita dari rasa marah, depresi, kesal, bahkan bisa mendongkrak rasa percaya diri. Juga, kita tidak akan mudah terjebak pada lingkaran dendam yang berkepanjangan. Inilah sesungguhnya modal utama untuk mencapai hidup bahagia, harmonis, dan tentram.
Kemampuan memberi maaf menjadi pertanda ”keberanian” seorang muslim untuk mempererat ikatan ukhuwah islamiyah. Sekaligus ”keberanian” untuk mengakui kelemahan dan kealpaan diri. Patut diingat, keberanian seseorang bukan diukur dari keberaniannya untuk berkelahi, tapi ditentukan oleh kemampuan mengendalikan diri dan memberi maaf ketika sedang marah.
Memberi maaf sejatinya juga adalah cara terbaik untuk berdamai dengan diri sendiri, sekaligus menjadi modal penting bagi terciptanya kedamaian sosial.
Dermawan Saat Kesusahan
Sikap dermawan bisa diartikan sebagai sikap murah hati. Sikap ini muncul sebagai panggilan nurani seseorang saat melihat orang lain berada dalam kondisi butuh pertolongan. Ketika seorang tetangga tiba-tiba jatuh miskin atau terkena penyakit kronis misalnya, seorang dermawan sejati akan refleks terketuk hati turut membantu meringankan beban tetangganya itu.
Masalahnya, bagaimana kalau tetangga yang tertimpa musibah itu musuh atau orang yang secara ideologis berseberangan dengan kita? Tetapkah kita membantu atau membiarkannya dalam nestapa? Kalau kita sampai bersikukuh tidak membantunya karena berbagai alasan, maka saat itu pula kita mesti melepas gelar kedermawan, atau paling tidak mempertanyakan motif kedermawanan kita.
Seorang dermawan sejati, tak akan pernah memandang ”status” objek yang akan dibantunya. Karena kedermawanan murni untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan kepentingan tertentu, apalagi didasari unsur riya`. Ingin pamer kekayaan.
Memang, sulit rasanya mendermakan harta kepada seseorang yang menjadi ”musuh” kita. Tapi, kalau itu dilakukan, dan dibarengi rasa ikhlas untuk membantu, insyâ`allâh pintu hati musuh kita akan Allah buka dan akhirnya ia akan menjadi ”teman baik” yang loyal kepada kita selamanya.
Perlu kita mencermati riwayat berikut ini: Suatu ketika Abu Qatadah datang menagih utang kepada Abdullah yang selalu berusaha menghindar, namun akhirnya bertemu juga. Abdullah lantas mengaku, ”Aku benar-benar dalam keadaan yang sangat sulit.” ”Kamu mau bersumpah?” balas Abu Qatadah. Abdullah menjawab, ”Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa ingin Allah bebas dari huru-hara hari Kiamat, maka hendaklah ia melapangkan orang yang dalam kesempitan atau memaafkan (tidak menagih piutangnya).” (HR. Muslim)
Jelaslah, harta kekayaan yang mengalir dari sikap kedermawan, sungguh akan menjadi perisai dan payung pengaman kiya yang akan melindungi dari huru-hara alam akhirat kelak.
Ksatria Saat Sendiri
Bersikap ksatria ketika sedang sendirian, artinya bagaimana kita jujur kepada diri sendiri, mampu mengendalikan hawa nafsu, dan yang terpenting, merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak-gerik kita.
Sikap ini sungguh sangat sulit dilakukan. Apalagi bagi remaja yang tengah puber, atau mereka yang selalu ”ragu” bahwa Allah hadir di lubuk hatinya.
Perlu disadari, ketika kita sendirian, sebetulnya kita tengah ditemani seorang kawan bernama setan. Ia akan membisiki hati kecil kita agar melakukan maksiat. Tanpa iman yang kuat, kita akan mudah terbuai bujuk rayu setan, yang akan menjerumuskan kita pada lubang maksiat. Ia akan menggunakan segala taktik licik untuk memperdayai kita, dan tak akan pernah mundur sampai berhasil menaklukkan kita.
Di sinilah penting upaya memperbanyak dzikrullâh ketika sedang sendirian. Biasakan membaca tasbîh, tahmîd, tahlîl, takbîr, istighfâr, dan shalawat, agar hati senantiasa ”hidup” dan “nyambung” dengan Allah. Inilah syarat pertama agar Allah senantiasa melindungi kita. Jika dzikrullâh sudah menjadi ”jiwa” kita, tak perlu lagi ada kekhawatiran kita akan terjebak pada perbuatan maksiat, sekalipun ketika sedang sendirian.
Agar kesendirian berbuah pahala dari Allah, penting mengisinya dengan hal-hal produktif, seperti beribadah, belajar, dan aktivitas pribadi lainnya. Di luar itu, kita perlu waspada bahwa waktu kosong dan kesendirian senantiasa menyimpan ”bom waktu” yang siap meledakkan kepribadian kita.
Berkata Benar kepada Siapapun
Berkata benar tak semudah membalik tangan, apalagi jika perkataan itu ditujukan kepada orang yang paling kita takuti atau sayangi. Terutama kepada orang yang kita khawwatir akan terganggu atau tidak berkenan dengan perkataan itu.
Perkataan benar sering menimbulkan efek negatif bagi kita. Ancaman dinonaktifkan dari jabatan bahkan di-PHK, akan kita hadapi jika direktur atau manajer perusahaan tersinggung dengan perkataan benar yang kita sampaikan. Karena mereka bisa merusak reputasinya.
Kehilangan kasih-sayang jika perkataan benar yang kita ucapkan tak berkenan di hati orang yang kita sayangi juga harus kita tanggung. Bahkan, tak mustahil, orang yang kita cintai akan berubah menjadi memusuhi kita.
Tapi, apapun, perkataan benar harus tetap diucapkan, walau terasa pahit. Tak masalah orang di sekitar tidak menyangi atau bahkan memusuhi kita, yang penting Allah tetap menyayangi. Apa artinya sekuntum kasih sayang seseorang apabila itu justru membuat Allah murka kepada kita.
Agar perkataan benar itu bisa diterima dengan lapang dada, penting kita memahami cara menyampaikannya dengan lemah lembut. Upayakan agar orang yang ditakuti atau kita sayangi tak merasa ”diceramahi” dengan perkataan benar itu. Insyâ`allâh mereka akan ikhlas menerima. Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari notes ini.
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda bermanfaat.
Oleh : KH. Muhammad Idris Jauhari
Shared By Catatan-Catatan Islami Pages
Tidak ada komentar:
Posting Komentar